
Syema Gloria bersama kedua orang tua di lapangan Rektorat Unesa, sebelum prosesi wisuda.
Unesa.ac.id. SURABAYA—Menjadi yang terbaik tak selalu harus lewat panggung sorotan. Kadang, prestasi dibangun dalam senyap, dalam konsistensi, dan dalam keberanian untuk terus melangkah meski tak banyak yang melihat. Itulah yang dijalani Syema Gloria, wisudawan terbaik Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dengan IPK nyaris sempurna: 3,94.
Perempuan kelahiran Kediri, 13 November 2003 itu bukan tipe mahasiswa yang akrab dengan spotlight. Ia tak aktif di banyak lomba, jarang muncul di panggung acara kampus, apalagi tampil mencolok. Namun, di balik ketenangannya, Syema—begitu ia akrab disapa—membangun sesuatu yang pelan-pelan menjelma menjadi jejak prestasi yang membanggakan.
Selain kuliah, mahasiswi Prodi S-1 Pendidikan Bahasa Jepang ini memilih memanfaatkan waktunya dengan mengajar les daring dan mengembangkan platform belajar bahasa Jepang miliknya sendiri: bunbunnihongo.my.id. Di sana, ia menyusun modul khusus untuk pemula, berdasarkan pengalaman pribadinya ketika pertama kali bergelut dengan hiragana, katakana, dan kanji.
“Saya ingin orang lain tidak merasa serumit saya waktu mulai dulu,” tuturnya di sela-sela prosesi wisuda ke-114 Unesa di Graha Unesa, pada Rabu, 2 Juli 2025 lalu.
Salah satu metode yang ia kembangkan adalah teknik mnemonik, atau cara menghafal dengan asosiasi lucu dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Hasilnya? Murid privatnya bisa menguasai huruf Jepang hanya dalam dua hari.
“Minimal mereka sudah bisa baca dengan lancar, biar nggak bingung saat masuk ke materi utama seperti grammar atau kosakata,” tambahnya.

Salah satu tampilan platform belajar bahasa Jepang yang dirancang Syema.
Saat ini, Syema sedang menyusun materi lanjutan berbasis JLPT N5, level dasar ujian kecakapan bahasa Jepang. Perlahan tapi pasti, ia juga tengah merampungkan bagian kanji dan tata bahasa—sebagai pondasi awal menuju level lebih tinggi.
Namun, jalan menuju titik ini tentu tak selalu lurus. Putri dari pasangan Rudy Setyawan Harsono dan Puspitawati itu tentu melalui perjuangan yang tak mulus. Ia sempat terpuruk karena skripsi, tetapi ia memilih bangkit.
“Waktu itu sudah hampir selesai, eh disuruh ubah banyak banget. Nangis, iya. Tapi saya kebut semalam, dan besoknya langsung diminta sidang,” kenangnya, sambil terkekeh.
Skripsi yang ia tulis pun tak biasa: “Metafora dalam Lirik Lagu Higedandism: Analisis Perbedaan pada Lagu Populer dan Tidak Populer.” Ia memilih band Jepang Official HIGE DANDism sebagai objek kajian, karena merasa lirik-lirik mereka sarat makna dan filosofi kehidupan. Dari lagu cinta, Syema menulis bab-bab jalan hidupnya sendiri.
Uniknya, ketertarikan Syema pada bahasa Jepang tidak dimulai dari anime, melainkan dari drama Korea. Saat SMP, ia sampai belajar hangeul dan menulis status WhatsApp dalam tulisan Korea—dengan bantuan Google Translate. Sang paman mengira itu tulisan Jepang, dan memberi hadiah buku “Lancar Bahasa Jepang dalam 30 Hari”. Itulah momen tak sengaja yang mengubah arah hidupnya.
Di balik pencapaiannya, Syema memiliki prinsip tidak menunda tugas, mengulas kembali materi setiap selesai kelas, rajin membaca buku, dan aktif mencari informasi. Namun satu hal yang paling ia tekankan adalah soal menghargai guru atau dosen. []
***
Reporter: Sindi Riska Fadillah (Fisipol)
Editor: Basyir Aidy, dan @zam*
Foto: Dokumentasi Syema Gloria
Share It On: