
www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id. SURABAYA—Bagi Ita Rahmawati, gelar bukan sekadar capaian. Ia adalah jejak perjuangan, bukti bahwa mimpi yang diperjuangkan dengan sepenuh hati akan menemukan jalannya. Di tengah semarak wisuda Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Periode ke-114, Juli 2025, ia melangkah mantap ke podium.
Namanya kembali menggema, kali ini sebagai wisudawan terbaik Program Studi (S-3) atau Doktor Ilmu Keolahragaan, Fakultas Ilmu Keolahragaan dan Kesehatan (FIKK) Unesa dengan IPK sempurna, 4.0.
Ini bukan kali pertama Ita menyandang gelar terbaik. Ia juga menjadi lulusan terbaik saat menamatkan pendidikan magister (S-2) di kampus yang sama. Namun, perjalanan ke gelar doktor bukan cerita yang mudah. Di balik pencapaian akademik itu, tersimpan kisah tentang konsistensi, pengorbanan, dan semangat belajar yang tak mengenal usia.
Dari Teknik Industri ke Dunia Judo
Ita memulai langkahnya di dunia akademik dari jalur yang sama sekali berbeda—teknik industri di UPN Veteran Jawa Timur. Namun, takdir membawanya masuk ke dunia olahraga, khususnya judo, sejak 1994. Ia bukan hanya pernah menjadi atlet, tetapi juga terus aktif hingga usia 39 tahun, bahkan turun di ajang besar seperti PON Papua 2021.

www.unesa.ac.id
Kini, Ita menjalani hari-harinya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di Kementerian Pemuda dan Olahraga, sekaligus pelatih judo yang melatih 2–3 sesi setiap harinya. Di sela kesibukan sebagai pelatih, ia juga menjalani peran sebagai mahasiswa doktoral, peneliti, dan seorang ibu.
“Saya hanya berusaha menyinkronkan semuanya,” tuturnya. Ia menyelaraskan kuliah, penelitian, dan pekerjaan lapangan agar saling menguatkan. Hasilnya, lahirlah sebuah disertasi yang bukan hanya bernilai akademik, tetapi juga berkontribusi langsung bagi pembinaan atlet muda.
Inovasi Latihan untuk Atlet Muda
Disertasinya berjudul “Pengembangan Model Latihan Nage-no-kata (IR15 Kata) Berbasis Imagery Training (PETTLEP) dan Alat Latihan Sederhana untuk Meningkatkan Keterampilan Gerak Atlet Judo Jawa Timur”. Penelitian ini merespons tantangan klasik dalam latihan judo: bagaimana tetap berlatih saat pasangan sparring tidak tersedia.
Dengan menggabungkan pendekatan imagery training berbasis PETTLEP dan peralatan sederhana, Ita berhasil mengembangkan metode pelatihan yang efisien, terjangkau, dan terbukti efektif. Penelitiannya melibatkan puluhan atlet muda berusia 13–23 tahun dari berbagai daerah di Jawa Timur, dengan bimbingan promotor Abdul Rachman Syam Tuasikal, dan co-promotor Ahmad Widodo.
Cinta Ita pada judo tak berhenti di laboratorium riset. Ia terus menyebarluaskan olahraga ini ke daerah-daerah yang sebelumnya kurang tersentuh. Dari Sampang dan Bangkalan di Madura, hingga menargetkan Jember dan Pacitan, Ita ingin menjadikan judo sebagai olahraga yang lebih inklusif dan merata. Ia tengah menyiapkan regenerasi dan pembinaan menuju PON 2028.
“Dulu saya bermimpi ingin jadi dosen karena sering melihat saudara saya mengajar. Kini, saya ada di jalur itu,” katanya dengan mata berbinar.
Ita adalah cerminan perempuan tangguh yang tak mengenal lelah. Ia adalah mantan atlet, pelatih aktif, ibu rumah tangga, dan kini doktor ilmu keolahragaan. Dalam dirinya, prestasi bukan hanya milik anak muda. Ia membuktikan bahwa usia, status, dan peran tak pernah menjadi batas untuk terus belajar dan berkarya. []
***
Reporter: Muhammad Azhar Adi Mas’ud (FBS)
Editor: Basyir Aidi, dan @zam*
Foto: Dok Ita Rahmawati
Share It On: