
www.unesa.ac.id
Unesa.ac.id., SURABAYA—Universitas Negeri Surabaya (Unesa) malalui Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) kembali menyelenggarakan International Conference on Cultural Studies and Applied Linguistics (ICCSAL) secara daring pada, Sabtu 26 Juli 2025. Konferensi yang keenam ini membahas beragam isu budaya dan linguistik aplikatif dengan mengusung tema “Digital Humanities and AI in Sustainable Language, Literary, and Cultural Education.”
Peserta dan pakar dari berbagai negara hadir menyoroti keprihatinan global, dan mendorong pendidik, pelajar, dan praktisi budaya dan bahasa terlibat dalam kemajuan pesat teknologi yang mengubah lanskap bahasa, sastra, dan studi budaya.
Bambang Sigit Widodo, Wakil Rektor III Bidang Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, Inovasi, Publikasi dan Pemeringkatan Unesa menyampaikan, ICCSAL tidak hanya menjadi platform akademis, melainkan kontribusi agar dunia lebih inklusif, adil, dan berkelanjutan melalui refleksi secara kritis isu-isu inklusivitas, kesetaraan, dan keberlanjutan.
Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) itu melanjutkan, di masa transformasi besar seperti saat ini, yang ditandai dengan percepatan teknologi dan redefinisi budaya, sangat penting bagi komunitas akademis untuk berkumpul, merenung secara mendalam, dan merespons secara bijak.
“Harapan kami, konferensi ini dapat memberikan ruang untuk berbagi pengetahuan, memperluas perspektif, dan menginspirasi kolaborasi baru lintas batas, disiplin ilmu, dan generasi,” harapnya.
Ketua ICCSAL 2025, Ali Mustofa melaporkan bahwa konferensi diikuti lebih dari 300 peserta, serta menampilkan 40 presentasi penelitian yang mencakup topik-topik seperti pelestarian budaya di lingkungan virtual, etika AI dalam pendidikan, multibahasa dalam narasi digital, dan wacana kritis di media digital.

www.unesa.ac.id
“Meskipun kita bertemu secara virtual, menjembatani zona waktu dan melampaui batas-batas, ruang bersama kita mencerminkan esensi dari tema konferensi ini, yaitu digital commons di mana pengetahuan tidak dikekang, tetapi dikembangkan dan dibagikan” ucapnya.
Terdapat tiga pembicara utama dalam konferensi tersebut. Salah satunya Raichle Farrelly, dari Colorado University (USA). Dia memaparkan materi berjudul “Mengajar untuk Perubahan: Mengintegrasikan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB ke dalam Pendidikan Bahasa Inggris”.
Menurut Rai, pendidikan saat ini mengalami defisit empati yang disebabkan karena empat hal. Pertama, lebih sedikit waktu bersama lingkungan/komunitas. Kedua, ketergantungan pada perangkat (seperti gawai dan laptop). Ketiga, fokus pada kompetisi dan kesuksesan. Keempat, konten di media sosial.
Untuk mengatasi hal tersebut, Rai menawarkan penyelarasan SDGs dengan Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning) seperti: sasaran SDGs, deskripsi proyek, keterampilan bahasa dan social emotional learning (SEL) yang dikembangkan, peluang bagi siswa untuk menyuarakan pendapat dan bertindak, dan saran untuk diferensiasi.
Raqib Chowdhury, dari Monash University (Australia) yang memaparkan terkait “Paradoks Neokolonisasi AI: Homogenisasi Suara Ilmiah dan Tulisan Akademis.” Ada tiga paradoks AI yaitu: AI memberdayakan penulis, AI menawarkan inklusi, dan AI menawarkan dukungan. Padahal sejatinya telah terjadi neokolonisasi AI yang saat ini terjadi dengan memperparah hegemoni dan geopolitik penulisan akademik ala barat.

www.unesa.ac.id
Untuk itu diperlukan kebijakan jurnal yang lebih inklusif, pedoman universitas terkait AI, menghargai keberagaman, dan inovasi lokal AI (AI dari Indonesia), dan pengembangan profesional pengajar.
Keynote speaker ketiga, Aquarini Priyatna, dari Universitas Padjajaran, (Indonesia) membahas topik “Feminist Killjoy: Menjelajahi Aktivisme Feminis di Ruang Digital”.
Aquarini menyoroti peran penting ruang digital dalam pembentukan identitas kolektif, koordinasi jaringan, dan penyebaran pengetahuan feminis. Karena media digital dan teknologi berkontribusi pada agenda feminis, menantang struktur kekuasaan patriarki dan mempromosikan kesetaraan.
“Salah satunya adalah Feminisme Killjoy yaitu konsep atau paham yang menolak perempuan untuk ditekan agar memenuhi norma dan harapan sosial budaya. Artinya Feminisme Killjoy adalah gagasan penolakan untuk menoleransi praktik-praktik menindas dan diskriminatif” tandasnya.[]
***
Reporter: Muhammad Azhar Adi Mas’ud (FBS)
Editor: @zam*
Foto: Tim Humas Unesa
Share It On: